Puluhan miliar rupiah uang negara di Perum Perhutani raib. Modusnya dengan aktivitas kerjasama penyertaan modal bertentangan dengan jumlah aturan perundang-undangan.

Perum Perhutani memiliki areal kerja di seluruh Pulau Jawa dengan berbagai jenis usaha. Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perusahaan yang banyak bergerak di bidang penanaman pohon jati ini juga menjalin kerjasama dengan berbagai pihak dalam mengelola berbagai jenis tanaman hutan lainna. Termasuk dalam perdagangan (trading) hasil-hasil hutan.

Salah satunya trading usaha hutan rakyat (UHR) Satuan Tugas (Satgas) Rehabilitasi Usaha Pengembangan Hutan Rakyat (RUPHR). Bisnis UHR ini tentu sangat membantu masyarakat yang hubungannya dengan produk-produk kehutanan. Dan, bisa juga menguntungkan bagi Perum Perhutani sebagai produk hutan. Saling membutuhkan antara masyarakat dan Perum Perhutani keudian ditindaklanjuti dengan pemberian modal kerja kepada pihak ketiga (masyarakat) dalam hal ini perusahaan yang bergerak di bidang produk hutan.

Saling membutuhkan antara masyarakat dan Perum Perhutani kemudian ditindaklanjuti dengan pemberian modal kerja kepada pihak ketiga (masyarakat) dalam hal ini perusahaan-perusahaan. Untuk mendapatkan modal kerja dari Perhutani itu, berbagai persyaratan diharuskan. Salah satunya, analisa proposal, survey lokasi, dan wawancara.

Data yang diperoleh FORUM, menyebutkan Satgas RUPHR Unit III Jawa Barat dan Banten setidaknya melakukan kerjasama dengan 7 perusahaan. Dalam proyek yang berlangsung tahun 2010 dan 2011 itu, Perhutani menggelontirkan Rp 18 miliar lebih dengan perjanjian pengembalian akan dikembalikan per 30 September 2012.

Kenyataannya, dari miliaran uang yang telah digelontorkan itu, hingga 30 September 2012, piutang yang masih berada pada sejumlah perusahaan ittu masih mencapai Rp 9,136 miliar lebih. Bahkan salah sau perusahaan CV BB telah melakukan penipuan dengan memberikan dua lembar cek kosong.

“Dari progress pengembalian piutang trading tahun 2010 dan 2011 tidak menunjukkan kemajuan signifikan. Dapat disimpulkan bahwa piutang trading yang dikelola Satgas RUPHR Unit III Jawa Barat dan Banten berpotensi macet sebesar Rp 9,136 miliar”, papar dokumen yang diperoleh FORUM itu.

Seperti dalam kasus CV BB yang berlokasi di Cirebon mendapat gelontoran modal kerja tahun 2010 sebesar Rp 2,6 miliar lebih. Copy dokumen yang diperoleh FORUM mengungkapkan, saat itu Satgas RUPHR memberikan penilaian perusahaan itu berpotensi sangat bagus.

Untuk itu dibuatlah kontrak pemasaran rotan antara CV BB dengan Satgas RUPHR dengan nomor kontrak no.01/Satgas/RUPHR/III/2010 tertanggal 2 Juli 2010. Tidak hanya itu, perjanjian jual beli kayu bengkirai juga dilakukan dengan kontrak tanpa nomor ../SP/RUPHR/III/2010 tertanggal 9 Juli 2010/ Sesuai kontrak Perum Perutani telah menyetorkan modal kerja Rp. 2,559 miliar yang terdiri dari kerjasama rotan Rp 639,526 juta dan jual beli kayu bengkirai Rp 1,920 miliar. Namun dalam perjalanannya hingga batas waktu yang ditentukan, pengembalian modal dari CV BB unuk kerjasama rotan hanya Rp 44,7 juta. Sedangkan kerjasama kayu bengkirai totalnya hanya Rp 427 juta.

Munculnya dugaan penipuan yang berpotensi merugikan keuangan BUMN itu semakin nyata tatkala YS, pimpinan cabang CV BB memberikan tiga lembar cek masing-masing senilai Rp 120 juta dan jaminan kontrak kerja dengan sebuah perusahaan senilai Rp 1,7 miliar. Namun pada saat jatuh tempo cek tersebut ternyata kosong. “Sampai saat ini YS tidak merealisasikan pembelian dan penyerahan baku dan menghilang” papar dokumen yang diperoleh FORUM.

Ada juga perusahaan yang menerima pengucuran dana Rp 1,175 miliar, hingga batas pengembalian sama sekali belum menyetor. Hal itu bisa terjadi dengan UD CFJ yang menerima modal kerja pada tahun 2011, hingga September 2012 tidak sepeser pun modal kerja itu dikembalikan ke Perum Perhutani.

Selain tidak sesuai dengan UU No. 19 tahun 2004 tentang BUMN, kasus pemberian modal kerja yang berpotensi macet pengembaliannya ini juga ditengarai tidak sesuai dengan SK Direksi Perhutani No. 288/KPTS/DIR/2010 tentang Prosedur kerja RUPHR.

Kasus pemberian modal kerja ini tidak dimonopoli Satgas RUPHR Unit III Jawa Barat dan Banten. Pada tahun yang sama RUPHR Unit I Jawa Timur dan Unit II Jawa Tengah juga menggelontorkan anggaran. RInciannya, RUPHR Unit I Rp 12,690 miliar dan RUPHR Unit II Rp 5,723 miiar. Sedangkan Unit III totalnya Rp 15,469 miliar.

Copy dokumen dari BPK-RI itu juga menyebutkan, selama ini trading UHR yang dikembangkan Perhutani tidak berkaitan dengan masyarakat penghasil kayu dari hutan rakyat.

Menanggapi hal piutang yang berpotensi macet itu, Dirut Perum Perhutani Bambang Sumananto mengakui adanya piutang dalam bisnis tersebut. “Itu kerjasama bisnis biasa dan memang ada piutang yang belum diselesaikan. Kebijakan Perhutani sekarang, kerjasama itu tidak dilanjutkan lagi. Kayu-kayu akan diolah sendiri,” papar Bambang melalui pesan singkat kepada FORUM, Kamis pekan lalu.

Terkait pihak penerima yang terindikasi melakukan penipuan, Bambang mengatakn, penagihan piutang terus dilakukan. “Kita akan kerjasama dengan kejaksaan dan kepolisian jika nanti piutangnya macet,” katanya. Sedangkan pejabat yang terkait dengan proyek tersebut, tambah Bambang, sudah diberi sanksi, yakni ditunda kenaikan pangkatnya dan dibebastgaskan. “Sanksi sudah diberikan kepada pejabat terkait”.

Tidak selaras dengan data FORUM, Bambang mengatakan, piutang tersebut selama ini masih terus diangsur pihak-pihak terkait. “Saya belum tahun detailnya, tapi laporan daerah (piutang) masih diprores terus. Yang jelas kita juga ada kerjasama dengan kepolisian daerah untuk mediasi supaya kewajiban pihak ketiga diangsur,” jelas Bambang ketika FORUM mengatakan, bahwa Kapuspenkum Kejaksaan Agung terkait hal itu dengan Perhutani.

Potensi merugikan keuangan perusahan milik negara itu tak hanya terjadi pada pemberian modal kerja dengan pihak ketiga. Dalam penempatan dana Perum Perhutani di reksadana Syailendra Perhutani Growth senilai Rp 238,7 milar juga berpotensi merugian. Penempatan uang itu tertuang dalam surat Direktur Keuangan Perhutani no 96/023.6/Keu/Dir/2009 tertanggal 7 Mei 2009, perihal pencairan valas yang menyebutkan agar penghasilan yang diterima dalam bentuk USD dapat langsung dikonversikan ke nilai rupiah pada hari yang sama. Dan, sisa cadangan saldo di konversikan secara bertahap ke rupiah opersional dengan memperhatikan kurs terbaik untuk memperkecil risiko kerugian mencapai Rp 12,5 miliar hingga Rp 37 miliar.

Terkait berbagai persoalan yang berpotensi merugikan keuangan Perum Perhutani itu, Viba Yoga Mauladi, anggota komisi IV DPR –RI mengatakan, laporan BPK itu harus diusut hingga tuntas. “Itu cermin kesalahan administrasi. Uang BUMN itu milik negara, bukan milik direksi,” kata Viva Yoga Mauladi, Jumat pekan lalu.

Potensi kerugian yang mencapai puluhan miiiar itu, tambah Yoga, adalah persoalan serius yang harus di usut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Ada dugaan penyimpanan. Saya minta KPK untuk mengusutnya. Ini uang negara yang ada di BUMN bukan uang direksi,” tegasnya.

Terkait penempatan uang perusahaan di reksadana, Viva Yoga mengatakan, seharusnya Perhutani lebih konsentrasi terhadap pengembangan lingkungan hutan yang bisa membawa dampak kesejahteraan masyarakat desa sekitar hutan. “BUMN itu memiliki dua misi, ekonomi dan sosial. Tidak melulu mencari profit,” urai anggota Fraksi PAN tersebut.

FORUM Keadilan: 43 (2 Maret 2014)