Pada tanggal 18 Oktober 2012 PT Equality Indonesia telah memberikan sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) kepada PT. RHM. Pemberian sertifkat ini hanya berlandaskan prosedur formal berbasis dokumen yang telah disiapkan sedemikian rupa oleh pihak perusahaan tanpa melihat fakta lapangan yang sesungguhnya. Berdasarkan fakta dari hasil pemantauan lapangan yang telah kami lakukan tidaklah pantas perusahaan ini mendapatkan sertifikat. Berikut beberapa alasan penting yang melatari penolakan pemberian sertifikat kepada PT. RHM:

  1. Penerbitan SK No. 90/Menhut-II/2007 tanggal 27 Maret 2007 tentang Pemberian IUPHHK Pada HTI Dalam Hutan Tanaman Kepada PT. Rimba Hutani Mas Atas Areal Hutan Produksi + 67.100 Ha di Propinsi Sumatera Selatan terindikasi telah dilakukan secara melanggar hukum. Indikasi pelanggaran hukum tersebut, yaitu Menteri Kehutanan ketika itu, menerbitkan SK IUPHHK-HTI dengan mengabaikan rekomendasi Gubernur Sumatera Selatan dan Bupati Musi Banyuasin. Dimana dari areal lelang seluas + 66.055 Ha yang dimenangkan oleh PT. RHM hanya direkomendasikan oleh Gubernur Sumsel untuk IUPHHK-HT a.n PT. Rimba Hutani Mas seluas + 22.650 Ha. Akan tetapi faktanya Menteri Kehutanan justru menambah luas areal yang semula seluas + 66.055 Ha bertambah menjadi + 67.100 Ha. Pengabaian terhadap rekomendasi Gubernur adalah bentuk pelanggaran sebagaimana ketentuan Pasal 62 ayat (3) PP No. 6 Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan, dimana menurut ketentuan pasal 62 ayat (3) disebutkan bahwa IUPHHK pada HTI dalam hutan tanaman diberikan oleh Menteri berdasarkan rekomendasi gubernur yang telah mendapatkan pertimbangan dari bupati/walikota. Implikasi dari diabaikannya rekomendasi Gubernur Sumsel sebagaimana tersebut diatas, luas areal IUPHHK-HT PT. RHM di kawasan hutan produksi Lalan Kabuapten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan bertambah 1045 Ha dari areal yang dilelang (dari 66.055 Ha menjadi 67.100 Ha);
  2. Lokasi proyek yang dilakukan studi AMDAL pada tahun 2006 hanya pada areal 66.055 Ha sebagaimana KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN No. SK. 515/Menhut-VI/2005 tanggal 27 Desember 2005, PT. Rimba Hutani Mas ditetapkan sebagai pemenang penawaran dalam pelelangan IUPHHK-HTI pada Hutan Tanaman atas areal hutan produksi seluas + 66.055 Ha. Artinya terhadap kelebihan areal seluas 1045 Ha tidak dilakukan analisis dampak lingkungan sehingga terindikasi telah melanggar ketentuan Pasal 22 UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkunga Hidup;
  3. Dengan mendasarkan IUPHHK-HT seluas + 67.100 Ha yang diterbitkan Menteri Kehutanan pada tanggal 27 Maret 2007, maka PT. RHM akan dan telah menikmati hasil kayu alam mencapai angka 3 juta m3. Itu pun berdasarkan data perencanaan mereka. Sedangkan berdasarkan pengamatan lapangan dan wawancara dengan masyarakat yang bermukim di sekitar lokasi (pinggir jalan lintas transport kayu PT. RHM menuju Jambi oleh WBH), didapat informasi bahwa priode tahun 2008-2009 jumlah truk angkut kayu PT. RHM bermuatan kayu alam yang melintas lebih kurang 200 truk setiap hari. Begitu juga dari jalur sungai, berdasarkan data pengamatan lapangan oleh masyarakat desa Kepayang (2009) diketahui bahwa jumlah kayu alam yang diangkut keluar sebanyak 9 ponton atau berkisar antara 3600-5400 m3/19 hari pengamatan. Artinya bahwa PT. RHM terindikasi telah mengambil keuntungan dari hutan alam yang menimbulkan kerusakan hutan. Tindakan ini bertentangan dengan Pasal 50 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu : Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan;
  4. Lokasi IUPHHK-HT PT. RHM berada pada hutan produksi yang sangat produkitf. Apabila mengacu pada ketentuan Pasal 38 ayat (3) PP N0. 6 Tahun 2007 dan PP No. 3 Tahun 2008, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI hanya dilakukan pada hutan produksi yang tidak produktif. Hutan produksi yang tidak produktif menurut ketentuan pasal 3 ayat (2) Permenhut P. 18/Menhut-II/2004 adalah areal hutan produksi yang penutupan vegetasinya sangat jarang/kosong berupa semak belukar, perladangan, alang-alang dan tanah kosong dengan kriteria teknis, 1) pohon inti yang berdiameter minimum 20 (dua puluh) cm kurang dari 25 (dua puluh lima) batang/setiap hektar, 2) pohon induk kurang dari 10 (sepuluh) batang/setiap hektar, dan 3) permudaan alamnya kurang, yaitu :
    • Anakan alam tingkat semai (seedling) kurang dari 1.000 (seribu) batang setiap hektar, dan atau
    • Pohon dalam tingkat pancang kurang dari 240 (dua ratus empat puluh) batang setiap hektar, dan atau
    • Pohon dalam tingkat tiang (poles) kurang dari 75 (tujuh puluh lima) batang setiap hektar.
  5. Berdasarkan pengamatan lapangan (hasil investigasi penelusuran distribusi hasil kayu oleh Wahana Bumi Hijau tahun 2009), hasil wawancara dengan masyarakat setempat, dokumentasi foto-foto terkait dengan hal tersebut diketahui bahwa Kayu Log ukuran besar (40 up) diangkut oleh PT. RHM menuju PT. Lonthar Papyrus Pulp and Paper Industries di Provinsi Jambi, diperkirakan kayu ini bukan untuk bahan baku kertas tapi dibawa pada tempat tertentu (biasanya pada malam hari) ke luar lokasi PT. Lonthar Papyrus Pulp and Paper Industries (perusahaan Pulp and Paper yang bahan bakunya diantaranya dipasok oleh PT. RHM);
  6. PT. RHM terindikasi melakukan penebangan hutan, pengerukan tanah diluar areal IUPHHK-HT. Aktifitas ini bertentangan dengan Pasal 14 PP No. 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan, yaitu :
    1. Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan hanya dapat dilakukan apabila telah memiliki izin dari pejabat yang berwenang.
    2. Termasuk dalam kegiatan pemanfaatan hutan tanpa izin ialah :
      • pemegang izin melakukan pemanfaatan hutan di luar areal yang diberikan izin;
      • pemegang izin melakukan pemanfaatan hutan melebihi target volume yang diizinkan;
      • pemegang izin melakukan penangkapan/pengumpulan flora fauna melebihi target/quota yang telah ditetapkan;
      • pemegang izin melakukan pemanfaatan hutan dalam radius dari lokasi tertentu yang dilarang undang-undang.
  7. PT. RHM telah menggunakan bantaran Sungai Merang dalam jumlah luas untuk Tempat Pengumpulan Kayu/Logyard, membuat kanal akses mengangkut hasil kayu alam sisa land clearing dibagian dalam konsesi tembus ke Sungai Merang, akibat yang telah ditimbulkan dari aktifitas ini adalah rusaknya bantaran sungai/tepi sungai dan berubahnya aliran sungai Merang (sekitar Logyard). Tindakan ini bertentangan dengan Pasal 25 PP No. 35 Tahun 1991 Tentang Sungai dan pasal 50 ayat (3) angka 3 dan 4 UU N0. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Berikut kutipan dari ketentuan dimaksud:

Pasal 25 PP no. 35 Tahun 1991 berbunyi “Dilarang mengubah aliran sungai kecuali dengan ijin Pejabat yang berwenang”
Pasal 50 ayat (3) angka 3 dan 4 berbunyi :
Setiap orang dilarang : melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai dan 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;

Berdasarkan fakta-fakta diatas, PT. Rimba Hutani Mas (RHM) tidak dapat memenuhi seluruh kriteria dan indikator pada standar dan pedoman pelaksanaan penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu sebagaimana peraturan direktur jenderal bina usaha kehutanan (lampiran 2.1.) nomor P.8/VI-BPPHH/2011 tanggal 30 Desember 2011. Oleh karena itu maka JPIK Sumatera Selatan secara tegas menyatakan bahwa PT. Rimba Hutani Mas tidak layak mendapatkan SERTIFIKAT VERIFIKASI LEGALITAS KAYU.

Informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:
Yuliusman Zawawi, Pocal Poin JPIK Sumsel
Telepon : +62 821 7510 2581
E-mail : yoesplg@yahoo.co.id

CATATAN UNTUK EDITOR

  • Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) adalah persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu/produk yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak (stakeholder) kehutanan yang memuat standard, kriteria, indikator, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian.
  • Sistem Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari adalah serangkaian proses penilaian kinerja PHPL dan Verifikasi Legalitas Kayu pada pemegang izin pengusahaan kayu yang memuat standard, kriteria, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian.
  • JPIK adalah Jaringan Pemantau Independen Kehutanan yang telah disepakati dan dideklarasikan pada tanggal 23 September 2010 oleh 29 LSM dan Jaringan LSM dari Aceh sampai Papua. Pembentukan JPIK sebagai wujud dari komitmen untuk ikut berkontribusi aktif dalam mendorong tata kepemerintahan kehutanan yang baik dengan memastikan kredibilitas dan akuntabilitas dari implementasi sistem Pernilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PK-PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK). JPIK hingga akhir bulan Oktober 2012 beranggotakan 41 lembaga dan 259 individu. JPIK berperan memantau implementasi SVLK, dari proses akreditasi, penilaian/verifikasi terhadap pelaku usaha, hingga proses pelaksanaan ekspor.
  • Wahana Bumi Hijau (WBH)

Sumber: http://www.wbh.or.id